🐅 Keadilan Itu Sendiri Adalah Sendi Pokok Ajaran Islam Yang Harus

Keadilandalam terminologi Islam mengandung makna : a) kebebasan bersyarat dan dilandasi oleh akhlak Islam. Keadilan yang menyiratkan kebebasan tanpa batas akan menimbulkan kekacauan dalam sendi-sendi kehidupan manusia, b) keadilan harus dioperasionalisasikan pada semua fase ekonomi. Indonesiatanpa ada penegakan Islam moderat, maka negara akan terus-menerus menjadi tembok pembatas antara kaum mayoritas (muslim) dan minoritas (non-muslim). Padahal, setiap agama merupakan pelajaran penting dalam memperkuat akidah yang dapat menjadi pedoman moral dan etika yang baik dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan benergara. PrinsipKeadilan Dalam ayat Al-Qur'an yang memerintahkan berbuat adil dalam segala aspek kehidupan manusia, seperti disebutkan dalam firman Allah QS.16 (Al-Nahl):90.5 Ajaran Agama Islam menjadikan keadilan sebagai prinsip politik Islam yang mengandung suatu 3 Mujilan, et al., Materi Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Kpribadian Agama Islam Keadilanadalah norma kehidupan yang didambakan oleh setiap orang dalam tatanan kehidupan sosial mereka. Ada dua sumber keadilan, yaitu keadilan positif yang merupakan konsep produk manusia, dan keadilan revelasional yang berasal dari Tuhan yang juga disebut dengan keadilan Ilahi. Al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam yang utama, banyak Abstrak: Keadilan merupakan harapan yang dapat dirasakan bagi seluruh umat. manusia, karena keadilan merupakan sebuah cita-cita luhur setiap negara untuk. menegakkan keadilan. Karenanya Islam manusiaitu sendiri. 8 Sebagai agama wahyu yang terakhir, syari'at Islam memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek kehidupan. Agama Islam merupakan satu sistem aqidah, syari'ah, dan akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai hubungan. Oleh karena itu, Islam adalah agama yang me- MAKALAHPOKOK - POKOK AJARAN ASWAJA DI BIDANG AQIDAH, SYARI'AH, TASAWUF Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ahlusunnah Wal Jama'ah DOSEN PENGAMPU : Ahmad Azhari Nasir, S.H.I, M.S.I DI SUSUN OLEH : Hanifa Berlian As Syahada (201230000509) Luluk Agustin (201230000518) KELAS GB JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA' JEPARA TAHUN Keadilanmerupakan salah satu ajaran pokok Islam yang terlupakan dalam hidup dan kehidupan. Keadilan merupakan salah satu ajaran Islam yang banyak dilupakan oleh para pemeluk Islam sendiri. Keadilan dalam budaya atau etika Jawa menempati sendi penting dalam interaksi sosial, hal itu terlihat dalam ungkapan 'aja mban cindhe mban siladan Ideologinegara RI adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa.". Sesuai sila pertama Pancasila. Pancasila merupakan nilai-nilai yang diambil dari ajaran Islam sehingga mustahil agama menjadi musuh Pancasila. Meskipun makalah ini membahas mengenai Pancasila yang nilai-nilainya terkandung dalam Al-Quran, Hadits dan ajaran agama Islam, tetapi tidak FUfm. Salah satu tema pokok Al-Quran ialah keadilan. Allah swt menggunakan kosakataadl, qisth, dan mizanuntuk mengungkapkan keadilan. Kata adl yang artinya adil, seimbang, tidak berat sebelah, terulang 21 kali, qisth 22 kali, dan mizan 23 kali. Di antara ayat-ayat keadilan yang dimaksud adalah sebagai berikut ditulis terjemahnya. Hai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak kebenaran, sebagai saksi dengan adil karena Allah, dan janganlah kebencianmu kepada orang membuat kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Allah tahu benar apa yang kamu kerjakan. QS 58. Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan, bermurah hati kepada kaum kerabat, dan Dia melarang melakukan perbuatan keji, mungkar dan kekejaman. Dia mengajarkan kamu supaya menjadi peringatan bagimu. QS 1690. Karena itu ajaklah beriman dan sabarlah sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan janganlah ikuti hawa nafsu mereka, tapi katakanlah, “Aku beriman pada apa yang diturunkan Allah tentang Kitab dan aku diperintahkan berbuat adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami perbuatan kami dan bagimu perbuatan kamu; tak perlu ada pertikaian antara kami dengan kamu. Allah akan menghimpun kita semua, dan kepada-Nya kita kembali.” QS 4215. Allah swt memerintahkan setiap orang untuk berlaku adil kepada sesama. Adil dalam memutuskan perkara dan adil dalam memberikan kesaksian. Kebencian dan sentimen pribadi tidak boleh menghalangi seseorang untuk berlaku adil. Berlaku adil identik dengan menegakkan kebenaran, mengerjakan amal kebaikan, dan takwa kepada Allah swt. Berlaku adil dan berbuat baik dalam suasana yang menyenangkan atau dalam suasana netral sungguh patut dipuji. Seseorang akan benar-benar diuji bila ia harus berlaku adil terhadap siapa yang membencinya atau terhadap orang yang tidak ia sukai. Setiap orang dituntut memiliki kesadaran moral yang tinggi untuk berlaku adil kapan saja dan di mana pun ia berada. Allah tidak melarang kamu dari mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu untuk bersikap baik dan berlaku adil terhadap mereka. Allah mencintai orang yang adil. QS 608. Hai orang-orang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri kamu sendiri, orangtua kamu, dan kerabatmu. Baik ia kaya atau miskin; Allah akan melindungi keduanya. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, supaya kamu tidak menyimpang. Jika kamu memutarbalikkan dan menyimpang dari keadilan, maka Allah Maha Tahu atas segala perbuatan kamu. QS 4135. Adil adalah sifat Allah swt. Setiap orang niscaya berlaku adil kepada kawan maupun lawan. Untuk menegakkan keadilan orang harus menjadi saksi demi Allah, sekalipun itu akan mengganggu kepentingan diri sendiri atau kepentingan mereka yang dekat atau yang disayangi. Keadilan harus berjalan sekalipun langit akan runtuh. Keadilan Islam lebih tinggi daripada keadilan formal menurut hukum positif mana pun yang dibuat manusia. Ia menembus sampai ke lubuk perasaan paling dalam, karena muslim melakukannya di hadapan Allah Yang Mengetahui segala benda, segala kerja dan gerak hati. Sikap memihak ke mana pun tidak benar. Setiap orang niscaya berlaku adil tanpa harus merasa takut atau terbawa oleh perasaan. Allah swt Maha Adil dan Bijaksana QS 954-8. Dia akan memberikan pahala yang tiada putusnya kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan. Mereka tak perlu takut pada pengadilan Ilahi di akhirat nanti. Adapun orang-orang yang jahat tak akan dapat menghindar dari hukuman-Nya QS 997-8, 101/6-9. Setiap perbuatan baik maupun buruk, berapa pun bobot dan besarnya, akan mendapat imbalan. Penilaian di akhirat demikian sempurna, meliputi gerak hati, godaan, dan hasutan di masa lalunya. Jika kebaikan yang lebih banyak, hasil penimbangan itu akan menguntungkannya. Ridha Allah adalah puncak segala kebahagiaan. Siapa yang menjadi perantara dalam hal kebaikan, ia akan memperoleh bagiannya dan siapa yang menjadi perantara dalam hal kejahatan, ia akan memikul bagiannya juga. Allah Maha Kuasa atas segalanya. QS 485. Allah tidak pernah merugikan seberat zarah sekalipun. Jika itu perbuatan baik Allah akan melipatgandakannya dan akan memberikan dari Dia Sendiri pahala yang besar. QS 440. Siapa yang berinisiatif melakukan suatu jenis kebaikan, maka ia akan memperoleh bagiannya, dan siapa yang berinisiatif melakukan kejahatan, akan menanggung risikonya. Allah swt tidak akan mengurangi sezarah pun pahala orang yang mengerjakan kebajikan. Allah Maha Adil dan Maha Pemurah pada hamba-hamba-Nya. Satu kebaikan hamba dibalas oleh Allah swt sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus QS 6160, 2261, 1021-8. Menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan perjuangan, pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Rugilah mereka yang menyia-nyiakan peluang emas yang dibentangkan Allah swt untuk mengisi pundi-pundi amal demi masa depan terjauh nanti. Bentuk kebodohan manusia yang paling mendasar adalah melupakan tujuan yang hendak mereka capai. Friedrich Nietzsche. Tujuan kita adalah untuk mengukuhkan kehidupan ini. Kita hanya perlu menjalani hidup ini dengan penuh kesadaran, kata John Cage. Siapa yang menghendaki yang fana dalam hidup ini, Kami segerakan baginya yang demikian, apa yang Kami kehendaki, kepada yang Kami kehendaki, kemudian Kami sediakan jahanam baginya; di dalamnya ia terbakar, hina dan terusir. Siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha untuk itu dengan sungguh-sungguh, dan dia beriman, mereka itulah yang usahanya diterima oleh Allah swt. QS 1718-19. Allah swt menghargai setiap usaha baik manusia. Seseorang yang memikul suatu beban tidak akan memikul beban orang lain. Bahwa yang diperoleh manusia hanya apa yang diusahakannya; bahwa usahanya akan segera terlihat. Kemudian ia akan diberi balasan pahala yang sempurna. Bahwa kepada Tuhamu tujuan akhir. QS 5338-42. Allah Yang Maha Adil mencintai keadilan dan orang-orang yang berlaku adil. Baca tulisan-tulisan Muhammad Chirzin lainnya Kumpulan Tulisan Prof. Dr. Muhammad Chirzin, [zombify_post] Melihat tema seminar nasional ini, “Mewujudkan Penegakan Hukum dan Penyelenggaraan Peradilan Tipikor Berperikemanusiaan dan Berperikeadilan”, yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia UII Yogyakarta, mungkin ada yang bertanya, Apakah itu berarti bahwa penegakan hukum dan penyelenggaraan peradilan tindak pidana korupsi selama ini tidak, atau kurang, berperikemanusiaan dan berperikeadilan? Tema ini memang sengaja dipilih untuk didiskusikan secara ilmiah karena meskipun secara teori, penyelenggaraan peradilan Tipikor dianggap sebagai upaya menegakkan hukum, namun faktanya adalah masih banyak keluhan dalam masyarakat tentang ketidakadilan dalam berbagai bentuk yang ditemukan dalam proses penegakan hukum dimaksud. Kasus-kasus yang kita temukan dari putusan-putusan Pengadilan Tipikor, yang berasal dari tuntutan jaksa, itu sering memaknai peran atau proses peradilan sebagai proses yang hanya bertumpu pada kepastian. Padahal sebetulnya yang dituju adalah agar putusan itu harus bernilai keadilan. Bagaimana agar putusan Pengadilan Tipikor itu bisa bernilai keadilan? Setidaknya harus diukur dengan tigal hal. Pertama, diukur dengan al-adil yaitu perilaku. Saya kebetulan juga seorang advokat. Ketika saya berpraktik di pengadilan, maka sering saya alami bahwa penegak keadilan tidak mamaknai al-adil atau perilaku. Kecenderungannya adalah, yang namanya advokat itu diperlakukan tidak sama dengan jaksa. Kadang-kadang kita dibentak. Tapi terhadap jaksa, hakim tersenyum-senyum saja, meskipun itu salah. Sering saya menghadapi hal semacam itu. Kenapa bisa seperti itu? Karena hakim tidak memahami konsep al-adil. Dalam proses peradilan, prinsip al-adil ini sering tidak digunakan. Karena al-adil itu tentang perilaku, maka perilaku pengadil harus juga adil. Bagaimana mungkin kita mengadili orang lain tetapi perilaku kita sendiri tidak adil? Karena al-adil itu tentang perilaku, maka kalau hakim berperilaku baik terhadap jaksa, seharusnya hakim berperilaku baik juga terhadap terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukum; bukan malah sebaliknya. Saya mempunyai pengalaman menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Ada saksi di persidangan yang ketika dikonfrontir dengan alat bukti, ternyata tak cocok. Saksi itu sebetulnya sudah mengirim surat, dan di suratnya itu ada nomor, ada perihal, ada lampiran. Ternyata ketahuan di persidangan bahwa lampiran itu sudah dicoret. Pasti semua sepakat bahwa apabila lampiran surat dicoret, maka hal itu berarti bahwa surat itu tidak mempunyai lampiran. Itu menurut pemahaman hukum dan administrasi. Tapi ternyata saksi katakan dia sudah melampirkan bukti-bukti sekitar 100 lembar tapi lampirannya dicoret, artinya dihilangkan. Lalu, saya meminta kepada saksi untuk menunjukkan surat aslinya. Saya tanya, apa maknanya ketika bapak menulis surat dan lampiran dicoret. Saksi itu tak bisa menjawab. Karena saksi diam saja, saya terus mendesak saksi untuk memberikan keterangan apa makna lampiran dalam surat. Ternyata, justru hakim membentak saya dan katakan, “Saudara tidak perlu memaksa.” Apa sebabnya hakim bersikap demikian? Karena dia tidak mengerti bahwa keadilan yang dimaksud itu adalah al-adil atau perilaku adil. Hal seperti ini sering saya alami ketika berpraktik di pengadilan. Yang kedua adalah al-mizan yaitu alat timbangan atau hukumnya. Kalau hukum yang digunakan itu tidak benar, maka hasilnya pasti salah. Kalau pasal dakwaan yang digunakan itu salah, berarti di situ ada kesalahan yang nyata, sehingga pasti hasilnya salah juga. Ketika mengajar mahasiswa S1, saya selalu menggunakan perumpamaan begini Al-mizan itu adalah alat yang digunakan. Kalau saya datang ke toko emas membeli emas satu gram, tapi toko emas memakai timbangan beras untuk mengukurnya, maka pasti hasilnya keliru. Begitu pun sebaliknya. Kalau saya ke toko beras membeli beras satu kilogram, lalu toko beras itu menggunakan timbangan emas, maka pasti hasilnya jelas tak akan bagus. Itulah yang saya maksudkan bahwa sebenarnya al-adil dan al-mizan itu harus sejalan. Kalau kepastian hukum itu selalu bicara alat, maka alatnya harus benar. Kalau alatnya sudah tidak benar, maka meskipun dipaksakan akan salah. Kalau dipaksakan untuk menghukum orang dengan alat atau aturan yang tidak benar, maka pasti hasilnya tidak benar pula. Kalau sudah tak benar, maka pasti tak adil. Kalau tak adil, maka tak akan bisa sesuai dengan ajaran Islam tentang keadilan. Yang digunakan sekarang adalah teori tentang kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Tapi jika tidak ditemukan keadilan di satu tempat, maka harus mencari keadilan di tempat lain. Artinya, bukan semata-mata kepastian hukumnya yang harus dikejar, tapi tetap harus mengutamakan keadilan. Itulah konsep Islam yang harus senantiasa diberikan kepada para penegak hukum, seperti yang diuraikan dalam Surat An Nisa ayat 58 dan 135. Ukuran ketiga yang perlu diperhatikan dalam menegakkan keadilan adalah aspek kemanfaatan. Hukuman yang diberikan harus bisa membawa manfaat, baik bagi orang yang dihukum, maupun bagi masyarakat sebagai pembelajaran. Hukuman yang tidak membawa manfaat, tetapi hanya menyengsarakan orang adalah hukuman yang tak berguna. Sebab tujuan berhukum itu sebetulnya bukan untuk menyengsarakan orang, tetapi menciptakan keteraturan dan kemanfaatan bagi manusia. Tiga standar atau ukuran keadilan menurut ajaran Islam yang diuraikan di atas ternyata belum dipahami dengan baik oleh para pengadil yang begitu bangga dengan predikat “penegak hukum” tetapi belum mampu menciptakan rasa keadilan masyarakat dalam proses-proses persidangan, termasuk untuk kasus-kasus korupsi. Sesuai ajaran Islam seperti yang saya sebutkan di atas, tiga ukuran keadilan tersebut yaitu al-adil, al-mizan, dan kemanfaatan seharusnya sudah lama ditegakkan dalam semua kasus yang ditangani oleh pengadilan di negara yang mayoritas penduduknya, termasuk para jaksa dan hakim, beragama Islam. Ketidakpedulian para penegak hukum untuk menerapkan tiga ukuran keadilan dimaksud tentu sangat memprihatinkan. Itulah sebabnya ketika memberikan pendapat hukum dalam focus group discussion September silam tentang kasus mantan Ketua DPD RI Irman Gusman, saya kemukakan bahwa apabila jaksa salah memilih mizan, salah memilih pasal dakwaan, kemudian hakim pun tidak menggali kebenaran tetapi hanya mengikuti alur pikiran jaksa, maka hasilnya menjadi tidak sesuai dengan prinsip al-adil, al-mizan, dan juga prinsip kemanfaatan dari putusan perkara dimaksud. Dalam kasus Irman Gusman, tampaknya jaksa dan hakim juga tidak menoleh ke aspek kemanfaatan dari upaya Irman untuk meringankan beban hidup masyarakat Sumatera Barat yang saat itu mengeluhkan harga gula yang tinggi. Pengadilan hanya melihat dimana ada hal-hal yang bisa dijadikan alasan tekstual-yuridis untuk menghukum orang, tetapi gagal melihat aspek kemanfaatannya. Jaksa dan hakim juga gagal menyadari ukuran perilaku adil dan timbangan atau al-mizan itu, padahal mereka itu pun beragama Islam dan bukan tidak mengerti tentang adanya konsep Islam tentang ukuran-ukuran keadilan tersebut. Ironisnya, putusan pengadilan selalu diawali dengan slogan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa! Ironi-ironi semacam ini lazim terjadi di berbagai proses peradilan, dimana jaksa dan hakim hanya menggunakan kacamata kuda untuk menghukum orang, tetapi tidak berani menggunakan hati nuraninya untuk menegakkan keadilan sesuai ajaran agama. Penegak hukum begitu bergairah mengejar kepastian hukum, tapi banyak yang tidak menyadari bahwa mereka hanya menjadi penegak undang-undang dan gagal menjadi pencipta keadilan sebagaimana diamanatkan oleh ajaran agama. Ketika para pengadil hanya mendefinisikan tugasnya sebagai penegak undang-undang dan bukan pencipta dan penegak keadilan juga, maka sangat sulit untuk menghadirkan keadilan dalam proses-proses penegakan hukum. Padahal harapan masyarakat yang mayoritas beragama Islam ini tentunya adalah agar Pengadilan—sesuai nama yang disandangnya—dapat menghadirkan keadilan dalam semua kasus yang ditanganinya, bukan malah menjauhkan rasa keadilan dalam proses-proses penegakan hukum. Sebab keadilan yang sesungguhnya tidak datang dari teks-teks hukum buatan manusia yang hanya bisa menghukum orang, bahkan secara kejam, tetapi datang dari ajaran agama yang yang luhur dan mulia nilainya, yang seharusnya ditegakkan di atas hukum-hukum buatan manusia. Kenapa kita tidak mempunyai keberanian untuk menegakkan ajaran agama tentang keadilan seperti diuraikan di atas? Kenapa kita meminjam nama Tuhan dalam setiap amar putusan Pengadilan, tetapi gagal menerapkan ajaran-Nya dalam penegakan hukum? Padalah di negeri ini tak ada orang yang akan membantah bahwa hukum Tuhan jauh lebih tinggi daripada hukum apa pun yang dibuat oleh manusia. Bukankah slogan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti menggunakan ukuran Tuhan seperti disebutkan di atas dalam mengadili perkara? Intinya, para jaksa dan hakim sebagai penegak hukum harus pula menjadi penegak keadilan yang menghayati dan menjalankan konsep keadilan sesuai ajaran agama; dan tidak sekadar menjalankan tugas-tugas profesinya, tapi dalam prosesnya selalu mengabaikan ajaran agama. Tapi hanya para pengadil atau penegak hukum yang mendapat hidayah ilahi yang akan memahami tentang tugas mulianya sebagai wakil Tuhan di negeri ini untuk menghadirkan keadilan sesuai ajaran-Nya, dan tidak sekadar menjalankan profesinya sesuai pikiran manusia yang amat terbatas, apalagi bila ditunggangi berbagai kepentingan yang berlawanan dengan ajaran agama. Tulisan ini sudah diterbitkan dalam media online prestasiindonesia Keadilan dalam Islam tercermin dalam kandungan kitab sucinya, yaitu Al-Qur'an. Al-Qur'an menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi Makkah waktu itu sebagai tempat asal mula Islam. Agama yang dibawa oleh Muhammad tersebut lantas menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama Yahudi, tetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat muslim untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari ketakwaan. Takwa di dalam Islam dengan kata lain bukan hanya sebuah konsep ritual, tetapi secara integral juga terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam Engineer 1999, hlm. 57–58.

keadilan itu sendiri adalah sendi pokok ajaran islam yang harus